Rangkuman kabar Rabu (1/2) mengurai kabar domestik dan mancanegara terpilih khusus buat Sobat Cuan! Di antaranya soal tingkat utang Amerika Serikat (AS) yang bikin merinding plus inflasi Indonesia yang kian meroket. Yuk, simak selengkapnya!
Bank Indonesia (BI) akan menaikkan Giro Wajib Minimum sebesar 300 basis points (bps) untuk Bank Umum Konvensional (BUK) dan 150 basis poin untuk Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS). Kenaikan akan dilakukan secara bertahap pada Maret, Juni dan September.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memastikan kenaikan ini tidak akan memengaruhi likuiditas perbankan. Pasalnya, saat ini rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (DPK) mencapai 35%, jauh melampui rasio pra-pandemi yakni 21%.
Perry memproyeksikan rasio alat likuid terhadap DPK akan susut tipis menjadi 30% pasca normalisasi GWM. Level tersebut, menurutnya, terbilang aman bagi perbankan untuk menjalankan fungsi intermediasi dan membeli surat berharga negara (SBN).
Normalisasi GWM merupakan bentuk pengetatan kebijakan tanpa menaikkan bunga acuan. Tetapi langkah ini juga bisa mengurangi likuiditas perbankan, sehingga penyaluran kredit konsumsi dan investasi mungkin ikut terhambat. Imbasnya, pertumbuhan ekonomi pun bisa tersumbat.
Selain itu, kenaikan agresif GWM tersebut sekaligus membuka kemungkinan bahwa pemerintah dan BI benar-benar akan menyelesaikan program stimulusnya di tahun ini. Apalagi, beberapa waktu lalu, pemerintah dan BI sepakat untuk tidak lagi meneruskan kebijakan burden sharing Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kenaikan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 0,56% pada Januari 2022. Dengan kata lain, inflasi Indonesia secara tahunan tercatat sebesar 2,18%, tertinggi sejak Mei 2020.
Kepala BPS Margo Yuwono menguraikan terdapat tiga komoditas yang mengalami lonjakan harga paling kencang selama Januari, yakni daging ayam ras, ikan segar dan beras. Kontributor inflasi lainnya ialah transportasi, pakaian dan alas kaki, serta pendidikan.
Tingginya inflasi akibat lonjakan harga bahan pokok memiliki dampak luas seperti susutnya jumlah riil pendapatan masyarakat hingga porsi pendapatan untuk investasi. Kondisi ini dapat berpengaruh pada anjloknya daya beli masyarakat yang berakibat pada perlambatan ekonomi jika dibiarkan berlarut-larut.
Selain itu, angka inflasi tahunan Indonesia sebesar 2,18% pun sudah berada dalam rentang BI yakni 2% hingga 4%. Jika inflasi terus meradang, maka bukan tidak mungkin BI akan meresponsnya dengan mengerek suku bunga acuan.
Baca juga: Kabar Sepekan: Harga Komoditas Booming, Ekonomi AS Bikin Pening
Amerika Serikat kembali mencetak rekor baru di bidang ekonomi setelah mencetak inflasi tertingginya dalam 38 tahun terakhir. Namun kini, negara Paman Sam ternyata mencetak rekor utang tertingginya sepanjang masa yakni lebih dari US$30 triliun. Jika dirupiahkan dengan asumsi kurs Rp14.300, maka utang tersebut senilai Rp429.000 triliun!
Tingkat utang AS melonjak sebanyak US$7 triliun atau sekitar Rp100.000 triliun sejak 2019. Saking banyaknya utang outstanding AS, bunga utangnya saja diramal bakal menembus US$5 trilun dalam 10 tahun mendatang.
Meski utang AS terbilang jumbo, Kepala Strategi Global JP Morgan, David Kelly mengatakan hal ini tidak akan menyebabkan krisis ekonomi. Hanya saja, AS akan kehabisan ruang fiskal untuk program penting di masa depan, misalnya mitigasi perubahan iklim.
Lebih jauh, para ekonom berpendapat situasi ini akan diperparah dengan kebijakan hawkish dari The Fed. Bahkan, pada 2051 biaya utang AS akan mencapai separuh pendapatan negara.
Melonjaknya utang hingga memakan separuh ruang fiskal dapat menghambat pembangunan di masa depan. Kondisi ini dapat menjadi pertimbangan bagi Federal Reserve untuk mengetatkan kebijakan moneternya namun menjaga kondisi fiskalnya.
Di samping itu, kenaikan beban utang AS akan membuat pemerintah memutar otak untuk melunasi. Makanya, bisa jadi AS akan memperkenalkan pajak baru di masa depan demi membayar kewajiban-kewajiban tersebut.
Seperti yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya, kebijakan pemerintah AS tentu akan berpengaruh ke ekonomi global, termasuk Indonesia. Apakah Indonesia bakal kecipratan berkah nantinya?
Menteri Keuangan India Nirmala Sitharaman mengungkap The Reserve Bank of India telah siap meluncurkan central bank digital currency (CBDC). Setelah melalui proses perdebatan panjang mengenai status legal aset digital di negara tersebut, mulai 1 April nanti mata uang India juga tersedia dalam bentuk digital.
Tak hanya itu, India juga berencana untuk mengenakan pajak pendapatan sebesar 30% pada aset-aset virtual. Meski pajaknya tergolong tinggi, aturan ini menandai babak baru di India dimana transaksi kripto kini sudah legal.
CBDC dapat menyediakan fasilitas transaksi yang lebih efisien dan murah di era digital. Apalagi, status legal kini sudah disematkan pada aset-aset kripto yang dapat meningkatkan partisipasi masyarakat India dalam transaksi cryptocurrency. Bagi India, ini juga menjadi peluang meningkatkan pendapatan negara lewat pajak pendapatan aset digital.
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 dan Nasdaq index futures, serta aset kripto dan reksa dana! Harga kompetitif di pasaran, selisih harga jual-beli terendah, dan tanpa biaya tersembunyi!
Untuk investasi emas, kamu bisa melakukan tarik fisik dalam bentuk emas Antam mulai dari 1 gram hingga 100 gram. Sementara dengan Pluang S&P 500, kamu bisa berinvestasi di kontrak berjangka saham perusahaan besar di AS! Mulai dari Apple, Facebook, Google, Netflix, Nike, dan lainnya! Segera download aplikasi Pluang!
Sumber: CNN Indonesia, CNN, Berita Resmi Statistik, Bloomberg
Bagikan artikel ini