Rangkuman kabar di akhir bulan, Kamis (30/9) mengungkap tax amnesty jilid II yang akan dilaksanakan awal tahun depan.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah menyepakati pembahasan tingkat I RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, salah satunya mengatur pengampunan pajak (tax amnesty) jilid II yang akan dimulai tahun depan.
Program tersebut dinamakan program pengungkapan sukarela wajib pajak dengan dua skema. Skema pertama ialah dengan mengalihkan harta bersih di luar negeri kepada instrumen investasi di Indonesia dengan tarif pajak 6-8%. Skema kedua tanpa pengalihan harta ke dalam negeri dengan tarif 11%.
Tarif ini lebih murah ketimbang skema tax amnesty tahun 2016-2020 yakni 12-14%.
Tax amnesty dengan tarif pajak yang lebih murah bagi wajib pajak yang mau mengalihkan harta/asetnya ke dalam negeri akan membuat arus modal masuk alias capital inflow meningkat. Ini akan memperkuat ketahan ekonomi saat global tengah bergejolak, memperkuat cadangan devisa, sekaligus meningkatkan penerimaan pemerintah di tengah kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ekspansif.
Namun, tantangannya adalah membuat program ini menarik bagi wajib pajak yang selama ini menyimpan dana di luar negeri agar mau ikut menyukseskan tax amnesty jilid II.
Rapat Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memutuskan untuk menurunkan tingkat bunga penjaminan 50 basis poin (bps) untuk simpanan dalam rupiah dan 25 bps untuk simpanan dalam valas.
Dengan demikian, tingkat bunga penjaminan simpanan di bank umum dalam rupiah menjadi 3,5% dan 0,25% untuk simpanan dalam valas. Angka ini adalah yang terendah sepanjang sejarah.
Turunnya tingkat bunga penjaminan akan mendesak nasabah untuk mengalihkan dana mengendap di perbankan pada instrumen investasi atau perputaran usaha. Selain itu, penurunan tingkat bunga penjaminan akan memicu perbankan untuk menyalurkan kredit ke masyarakat.
Pertumbuhan kredit bisa berdampak baik terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebab, penyaluran kredit bisa memicu investasi dan konsumsi, dua komponen utama pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB).
Baca juga: Rangkuman Kabar: Batu Bara jadi Primadona, AS Terancam Default
Ketua The Fed Jerome Powell mengatakan, kenaikan inflasi yang terjadi di Amerika Serikat saat ini adalah hal yang bikin “frustasi”. Bahkan, ia meramal bahwa meradangnya tingkat inflasi AS masih akan berlanjut hingga 2022 mendatang.
Namun, di saat yang sama, ia juga mengatakan bahwa ekonomi AS akan terus “menguat” hingga tahun depan.
Proyeksi inflasi dari bos The Fed menjadi indikasi bahwa bank sentral AS tersebut kemungkinan akan ngotot untuk menaikkan suku bunga acuannya pada 2022 mendatang. Dengan demikian, investor dan pelaku pasar perlu menata ulang portofolio investasinya saat ini. Sebab, kenaikan suku bunga acuan akan meningkatkan bunga pinjaman, sehingga aliran dana ke pasar modal AS, maupun dunia, mungkin akan ikutan seret.
Purchasing Manager Indeks (PMI) manufaktur, yakni indeks yang mencerminkan aktivitas pabrik di China mengalami kontraksi di level 49,6 bulan ini. Agustus lalu, PMI China masih bertengger di level 50,1.
PMI terkontraksi akibat perlambatan industri padat energi imbas dari krisis listrik yang melanda 20 provinsi di China bulan ini. Ujian ini diperparah dengan melambungnya harga komoditas serta kebijakan pengetatan pengawasan industri properti dan internet yang dilancarkan pemerintah.
Kontraksi PMI manufaktur China di bulan mendekati musim belanja akhir tahun akan berdampak pada inflasi global. Apalagi, banyak merek ternama mempercayakan pabriknya di China seperti Apple dan Tesla.
Jika inflasi meningkat saat perekonomian global berupaya untuk pulih pada momentum krusial seperti libur akhir tahun dan black friday, tentu akan mengganggu momentum pemulihan ekonomi pasca pandemi.
Sumber: CNBC Indonesia, Coin Desk, Reuters, CNN Indonesia
Bagikan artikel ini