Rangkuman kabar Rabu (24/11) mengulas perkembangan dari dalam negeri maupun mancanegara. Yuk simak selengkapnya.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkap nilai ekspor industri manufaktur mencapai US$143,76 miliar, atau senilai Rp2.050 triliun, pada Januari hingga Oktober 2021. Angka ini melampaui total nilai ekspor sepanjang tahun 2020 lalu yakni US$131,13, miliar dan berkontribusi sebanyak 77,16% dari total nilai ekspor nasional.
Hingga akhir tahun, Agus memproyekskan pertumbuhan ekspor nonmigas dapat mencapai 4% dengan kontribusi terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebesar 18%. Penyumbang terbesar dari pencapaian ini ialah industri makanan dan minuman yang menyumbang 38,91%.
Sejalan dengan kinerja ekspor yang tinggi, nilai investasi sektor Industri pada Januari-September 2021 mencapai Rp236,8 triliun atau 35,9% dari total investasi nasional. Sebanyak Rp173,8 triliun diantaranya merupakan porsi penanaman modal asing, sisanya yakni Rp63 triliun berasal dari investor dalam negeri.
Industri manufaktur merupakan kontributor terbesar PDB berdasarkan lapangan usaha. Pertumbuhan masif dari lapangan usaha ini tentu akan menyumbang angka signifikan pada pencapaian pertumbuhan ekonomi. Apalagi, industri manufaktur tergolong lapangan usaha padat karya yang banyak menyerap tenaga kerja, sehingga pertumbuhan industri manufaktur memiliki efek pengganda perekonomian yang kuat.
Selain itu, moncernya nilai ekspor manufaktur RI dapat menarik minat investor asing untuk menanamkan modal di industri manufaktur. Hal ini nantinya akan menyokong berkembangnya industri ini guna memenuhi permintaan global maupun domestik.
Presiden Joko Widodo mengutarakan kekecewaannya setelah melihat pemerintah provinsi masih memiliki dana nganggur sebesar Rp226 triliun di rekening perbankan. Kekesalannya makin memuncak setelah menyadari bahwa jumlah ini melesat dari Rp170 triliun di Oktober.
Jokowi mengatakan, endapan dana daerah ini dapat menghambat realisasi investasi dan pemulihan ekonomi. Dirinya mengaku kecewa sebab dana tersebut harusnya tersalurkan sepenuhnya pada tahun anggaran 2021 yang tinggal satu bulan lagi.
Dana daerah yang mengendap di perbankan, alih-alih tersalurkan kepada masyarakat sesuai rancangan anggaran, akan membuat realisasi penyerapan rendah. Akibatnya, efek berganda yang semula diperhitungkan dari porsi anggaran tersebut turut meleset. Padahal, belanja pemerintah daerah diperlukan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi di akhir tahun ini.
Baca juga: Rangkuman Kabar: El Salvador Serius Bangun Kota Bitcoin. Kamu Tertarik?
Sejumlah negara mengonfirmasi keikutsertaannya melepaskan cadangan minyak mentahnya ke pasar sebagai upaya untuk menurunkan harga minyak. Namun, langkah ini mengundang sikap skeptis dari pelaku pasar dan analis yang menilai bahwa cadangan yang mereka lepas tak ubahnya setetes air di lautan.
Awalnya, langkah ini dilakukan Amerika Serikat yang mengonfirmasi akan melepas 50 juta barel cadangan minyaknya. Langkah Negara Paman Sam tersebut kemudian diikuti Jepang, China, Inggris Raya, dan India.
Namun, lembaga investasi terkemuka Goldman Sachs meyakini jumlah cadangan minyak yang dilepas tidak akan signifikan. Lembaga tersebut mengestimasi bahwa total cadangan minyak yang dilepas hanya 75 hingga 80 juta barrel saja, jauh di bawah estimasi awal yakni 100 juta barrel. Jumlah tersebut, menurut mereka, hanya mampu menekan harga minyak US$2 per barrel alias seperempat dari kenaikan harga minyak sejak akhir Oktober sebesar US$8 per barrel.
Skeptisnya pelaku pasar terhadap keberhasilan startegi joint reserve ini membuat harga minyak kembali menguat tipis hari ini. WTI Crude diperdagangkan US$78,95 per barrel, menguat 0,57% dari kemarin. sementara Brent Crude diperdagangkan US$82,74, menguat 0,52%.
Sikap skeptis dari pelaku pasar akan memicu sentimen negatif yang memengaruhi keberhasilan strategi ini. Padahal, jika harga minyak terus melonjak, maka hal itu akan berimplikasi luas pada terhambatnya pemulihan ekonomi global, tingginya laju inflasi, hingga krisis energi.
Jika inflasi terus meradang, maka bank sentral di seluruh belahan dunia akan kembali pusing untuk memilih mengetatkan kebijakan moneternya atau tidak.
Perusahaan rintisan bernama Credit DeFi Alliance (CreDA) meluncurkan platform pemeringkat kredit pertama di dunia yang beroperasi dalam sistem Decentralized Finance. CreDA menggunakan artificial intelligence (AI) untuk memberi peringkat kredit bagi pengguna crypto dalam ekosistem DeFi.
Perusahaan ini menjawab kebutuhan ekosistem DeFi yang semakin diminati namun amat rentan terhadap scamming dan phissing. Selain itu, CreDA juga menjembatani ekosistem kredit DeFi dengan sistem tradisional sehingga kedua sistem tersebut dapat saling bertukar data untuk membentuk profil risiko dari kreditur dan debiturnya.
CreDA akan diluncurkan besok (25/11) berbarengan dengan hari raya Thanksgiving di Amerika Serikat. Sistemnya dibangun pada blockchain Ethereum layer 2 bernama Arbitrum One.
Nantinya, data histori transaksi lintas blockchain yang terkumpul akan ditambang dalam bentuh credit non-fungible token (cNFT). Pemiliknya dapat menggunakan cNFT miliknya untuk memvalidasi skor kredit, melakukan aktivitas pinjaman, atau menerima insentif tertentu.
Pemeringkat kredit dalam ekosistem DeFi akan membantu platform lending berbasis blockchain untuk berkembang. Sebab, fitur ini akan membantu membuat profil risiko dari pengguna crypto yang membuat transaksi lebih terjamin.
Sumber: Investing, Reuters, Detik, CNN Indonesia
Bagikan artikel ini