Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang berpotensi naik pada awal tahun 2020 menjelaskan potensi terjadinya January Effect 2020. January Effect adalah fenomena tahunan yang terjadi pada pasar modal dengan menguatnya harga saham di bulan Januari.
Sebagaimana halnya awal-awal tahun lainnya, pada Januari 2020 IHSG diprediksi akan menguat. Selama 10 tahun terakhir ini, IHSG memang cenderung positif naik pada awal tahun.
Lagipula, titik terang antara persaingan dagang AS-Tiongkok pada 2020 nanti membentuk sentimen positif sehingga pelaku pasar optimis.
Jika pun pada 2020 nanti IHSG berkemungkinan mengalami penurunan, indeks harga tidak akan sampai turun melebihi level 6.274.
Namun, nilai IHSG ini tentu akan dipengaruhi oleh banyak faktor lain. Terkait faktor eksternal, selain perang dagang antara AS-Tiongkok, pemangkasan suku bunga oleh The Fed tampaknya akan memberi pengaruh juga.
January Effect 2020 akan dipengaruhi oleh dua faktor eksternal besar. Persaingan dagang antara AS-Tiongkok akan mencapai puncaknya pada Pemilu AS pada November 2020 nanti. Pihak AS menjanjikan kepastian akan dicapai pada November.
Sementara itu, The Fed alias Federal Reserve memangkas suku bunga hingga 25 basis poin, dari 2,25 persen jadi 2 persen, sesuai dengan ekspektasi pasar. Ini kali kedua The Fed melakukan pemangkasan suku bunga dalam kurun satu dekade terakhir.
Selain faktor eksternal, beberapa kasus di dalam negeri tentu memberi pengaruh juga terhadap January Effect. Pasar modal Indonesia diperkirakan akan tertekan lantaran kasus Jiwasraya.
Jiwasraya kabarnya akan membayar tunggakan klaim pada 2020, yang artinya perusahaan pelat merah ini akan melepas portofolio saham bervaluasi rendah atau undervalue.
Dengan penjualan itu, diharapkan mendatangkan dana segar sebesar Rp5,6 T. Ini menunjukkan Jiwasraya akan memanfaatkan penjualan ketika IHSG dalam tren positif dan di bawah pengaruh January Effect.
Mengikuti kecerdikan Jiwasraya dalam memanfaatkan tren positif IHSG lantaran January Effect, investor juga sebenarnya dapat mengambil kesempatan untuk menampung saham-saham bluechip yang masih undervalue.
Pelaku pasar, misalnya, bisa koleksi saham dari beberapa perusahaan. Potensi saham-saham January Effect ini naik minimal 5% dan maksimal 15%, bahkan berpeluang meningkat hingga 20% apabila investor hold saham tersebut hingga akhir kuartal pertama.
Di antaranya saham dari perusahaan manufaktur Astra International (ASII), Astra Argo Lestari Tbk. (AALI), ataupun properti PT Bumi Serpong Damai (BSDE).
Saham perbankan seperti dari PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) ataupun PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI). Selain itu, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) juga menunjukkan sentimen positif.
Perusahaan ritel dan distribusi perangkat elektronik PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA) atau perusahaan pakan ternak PT Japfa Comfeed Indonesia (JPFA) dan PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN) pun dapat menjadi pilihan investasi.
Untuk industri telekomunikasi, saham dari perusahaan PT XL Axiata Tbk (EXCL) ataupun industri jalan tol dan infrastruktur PT Jasa Marga (Persero) Tbk (JSMR) bisa jadi pilihan.
Selain perusahaan-perusahaan itu, ada beberapa saham yang disinyalir akan dipengaruhi January Effect, di antaranya PGAS, TLKM, ADHI, PTPP, PWON, SMRA, WIKA, WSKT, dan UNTR.
Saham-saham ini terbilang menarik lantaran secara valuasi masih murah dan secara siklus tahunan dengan January Effect, saham-saham ini bisa jadi pilihan.
Sumber: Kontan, Investopedia
Harga Emas Diprediksi Naik Hingga Rp900.000 di Tahun 2020, Mungkinkah?
Bagikan artikel ini