Selamat berakhir pekan, Sobat Cuan! Menutup weekday terakhir pekan ini, Rangkuman Kabar kembali hadir dengan pilihan berita domestik dan mancanegara.
PT Pertamina (Persero) mengumumkan telah mengerek harga Bahan Bakar Minyak (BBM) produksinya per Maret 2022. Namun, perusahaan minyak dan gas pelat merah tersebut hanya menaikkan harga tiga produk BBM non-subsidinya, yakni Pertamax Turbo, Pertamax Dexlite, dan Pertamax Dex.
Secara rinci, Pertamina telah mengerek harga Pertamax Turbo dari Rp13.500 per liter menjadi Rp14.500 per liter. Sementara itu, harga Pertamax Dexlite naik dari Rp12.150 per liter menjadi Rp12.950 per liter. Terakhir, harga Pertamax Dex naik dari Rp13.200 per liter menjadi Rp13.700 per liter.
Kendati demikian, Pertamina belum menaikkan dua BBM bersubsidi yaitu Pertamax dan Pertalite untuk saat ini.
Pertamina menyebut bahwa kenaikan harga BBM non-subsidi ini mengikuti harga minyak global dan sesuai ketentuan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), di mana harga BBM non-subsidi wajib dievaluasi rutin setiap dua minggu.
Apa Implikasinya?
Kenaikan harga BBM non-subsidi tentu akan berkontribusi terhadap tingkat inflasi dalam negeri. Jika kenaikan inflasi tak dapat dibendung, maka Bank Indonesia (BI) kemungkinan bakal meresponsnya dengan mengerek suku bunga acuan.
Namun, kenaikan harga BBM non-subsidi juga kemungkinan besar akan membuka jalan kenaikan harga BBM bersubsidi. Nah, biasanya, dunia usaha akan mengantisipasi peristiwa itu dengan mengerek harga jualnya terlebih dulu meski kenaikan harga BBM belum terjadi. Sehingga, Indonesia berpotensi mengalami suatu kondisi yang disebut 'inflasi semu'.
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan melaporkan bahwa sebanyak 4,53 juta Wajib Pajak (WP) telah melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) untuk tahun 2021. Angka ini merupakan akumulasi pelaporan dari awal tahun hingga Jumat (4/3).
Namun, capaian ini masih jauh dari target Kemenkeu yakni 19 juta WP. Hanya saja, rendahnya angka realisasi sementara ini dapat dimaklumi mengingat sebagian besar WP biasanya bakal mengisi SPT pada akhir Maret atau awal April.
Pemerintah memanfaatkan momen pelaporan SPT untuk mengukur besarnya basis pajak di dalam negeri. Jika warga Indonesia patuh melaporkan SPT, maka pemerintah bakal punya angka basis WP yang jelas.
Sementara itu, pemerintah membutuhkan angka basis pajak sebagai bekal untuk merumuskan kebijakan-kebijakan perpajakan di masa depan. Dengan kata lain, tingkat kepatuhan pelaporan SPT yang rendah kemungkinan bakal membawa pemerintah untuk menyusun kebijakan pajak yang kurang jitu.
Baca juga: Pluang Pagi: Inflasi & Invasi Bikin Saham AS & Kripto Pucat Pasi
Ketika penduduk Indonesia sedang liburan pada Kamis (3/3), harga batu bara ternyata makin on fire! Kemarin, harga batu bara tercatat menembus level US$446 per ton alias level tertingginya sepanjang masa!
Lebih serunya lagi, harga batu bara kemarin naik sampai 46,01% dalam sehari. Lho, kok bisa?
Meroketnya harga batu bara merupakan imbas dari tensi geopolitik Rusia dan Ukraina yang kian mendidih. Ya, permintaan batu bara dari negara-negara Eropa semakin melonjak lantaran mereka tengah mencari alternatif energi selain gas alam, sebuah komoditas yang utamanya dipasok oleh Rusia.
Namun, kini gejolak semangat harga batu bara perlahan padam. Pada Jumat (4/3), harga batu bara ICE Newcastle Australia untuk kontrak Maret kini bertengger di level US$370 per ton.
Kenaikan harga batu bara bakal menjadi pisau bermata ganda bagi Indonesia.
Di satu sisi, harga batu bara yang membara akan meningkatkan penerimaan negara dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Selain itu, Indonesia juga bisa memanfaatkan momentum ini untuk mengerek nilai ekspornya. Nilai ekspor yang melonjak tak hanya membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia mentereng, namun juga mengantongi cadangan devisa yang mumpuni.
Namun, di sisi lain, kenaikan harga batu bara juga akan mengerek beban pembangkit PT PLN (Persero), selaku penyedia listrik di Indonesia. Kalau harga batu bara tak terbendung, maka masyarakat harus siap-siap menerima penyesuaian tarif listrik, baik golongan subsidi maupun non-subsidi.
Amerika Serikat (AS) telah menjatuhkan sanksi baru kepada Rusia dalam bentuk pembatasan ruang gerak bagi delapan orang tajir Rusia, yang merupakan sosok dekat bagi Presiden Rusia Vladimir Putin, beserta anggota keluarganya.
Kini, orang-orang tersebut tidak bisa lagi mengakses pendanaan dari industri jasa keuangan milik negara-negara barat, termasuk Visa dan Mastercard. Selain itu, mereka juga kini tak bisa lagi mengajukan visa tinggal di AS dan tidak bisa mengakses teknologi tertentu.
Tak ketinggalan, Biden juga meminta platform exchange kripto untuk memastikan bahwa kelompok oligarki tersebut tidak bisa memanfaatkan aset digital demi menghindari sanksi dari AS.
Sanksi terbaru ini setidaknya mengindikasikan bahwa AS masih belum mau intervensi konflik Rusia dan Ukraina dalam bentuk bantuan militer. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka ada kemungkinan dampak ekonomi dari memanasnya tensi geopolitik Eropa Timur bersifat terbatas dan tak memukul ekonomi global dengan keras.
Namun, di sisi lain, tindakan AS yang menyasar sanksi lewat aset kripto dapat menurunkan tingkat adopsi kripto. Ini, tentu saja, bisa menjadi sentimen negatif bagi kinerja aset kripto ke depan.
Baca juga: Rangkuman Kabar: AS-Rusia Kian Panas, Harga Minyak Bikin Cemas
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 dan Nasdaq index futures, serta aset kripto dan reksa dana! Harga kompetitif di pasaran, selisih harga jual-beli terendah, dan tanpa biaya tersembunyi!
Untuk investasi emas, kamu bisa melakukan tarik fisik dalam bentuk emas Antam mulai dari 1 gram hingga 100 gram. Sementara dengan Pluang S&P 500, kamu bisa berinvestasi di kontrak berjangka saham perusahaan besar di AS! Mulai dari Apple, Facebook, Google, Netflix, Nike, dan lainnya! Segera download aplikasi Pluang.
Sumber: CNBC Indonesia, CNN Indonesia, Bloomberg
Bagikan artikel ini