Sobat Cuan pasti sering mendengar istilah tanda-tanda "kiamat" aset kripto yang disebut Crypto Winter. Beberapa pihak bahkan mengatakan bahwa "musim dingin" itu terjadi saat ini. Lantas, apa itu Crypto Winter? Dan benarkah iklim buruk itu terjadi saat ini? Simak selengkapnya di Pluang Insight berikut!
Sobat Cuan pasti menyadari bahwa pasar kripto saat ini sedang amburadul. Tengok saja nilai Bitcoin (BTC) yang kini di kisaran US$20.000 per keping alias terjun bebas sebesar 74% dari level tertingginya US$68.000 akhir tahun lalu. Tak ketinggalan, nilai Ether (ETH) pun ikut jebol 82% dari level tertingginya.
Nah, kejatuhan harga kripto yang teramat dalam hingga 80% dari puncak tertingginya inilah yang umum disebut sebagai "musim dingin kripto" atau Crypto Winter.
Namun, definisi Crypto Winter secara khusus ternyata tak hanya merujuk pada ambrolnya harga aset kripto semata. Beberapa analis berpendapat, sinyal musim dingin di jagat kripto juga terlihat dari kegagalan platform kripto untuk menjamin profitabilitasnya dan mempertahankan aspek perlindungan konsumennya sebagai imbas dari kepanikan pelaku pasar.
Makanya, tak heran jika banyak pihak mengaitkan pertanda Crypto Winter dengan peristiwa seperti kegagalan likuiditas di platform kripto, likuiditas yang mengering di pasar kripto, bahkan hingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masif yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang bergelut di bidang kripto.
Pelaku pasar pertama kali menggunakan istilah Crypto Winter ketika nilai BTC longsor lebih dari 80% pada 2018 lalu. Tetapi, sebelum tahun tersebut, ternyata pasar kripto juga pernah amburadul beberapa kali meski tidak menggunakan istilah "musim dingin".
Dari grafik di bawah, Sobat Cuan bisa melihat bahwa BTC telah mengalami bear market parah sebanyak lima kali sejak hadir di dunia ini 2009 silam. Adapun kondisi pasar kripto saat ini berada di lingkaran kuning yang terletak paling kanan di grafik tersebut.
"Musim dingin" pertama sejatinya terjadi pada 2012 silam, ketika harga BTC kandas lantaran combo peristiwa besar seperti ketidakpastian regulasi dan penutupan platform exchange kripto terbesar saat itu, TradeHill. Tak ketinggalan, peretasan di platform Bitcoinica dan Linode, yang berakibat 10.000 keping BTC raib mendadak, juga dituding memperparah kejatuhan harga BTC saat itu.
Harga BTC akhirnya berhasil masuk fase konsolidasi selama setahun, di mana harganya sukses melonjak dari titik terendahnya di 2012 sebesar US$16 menjadi US$120 per keping. Sayang, harga sang raja aset kripto harus kembali terkulai lemas di 2016 setelah muncul kabar tidak sedap seperti larangan Bank Sentral China hingga skandal seputar penutupan Gunung Gox.
Setelah kejadian tersebut, harga BTC pun beranjak stabil sampai pertengahan 2017. Maklum, pelaku pasar saat itu cukup antusias dengan BTC. Terlebih, pasar kripto juga tidak dihinggapi kabar miring, sehingga BTC berhasil mendarat di US$20.000 per keping pada akhir tahun tersebut.
Sayang, profit taking yang bertubi-tubi, peretasan yang makin marak, dan desas-desus mengenai pelarangan BTC di beberapa negara harus kembali menyeret sang raja aset kripto ke jurang kiamat di 2018.
Ibarat tengah menderita sakit kronis, BTC saat itu terlihat kesulitan untuk kembali siuman. Buktinya, ia butuh setahun lebih untuk kembali ke fase bull market sampai akhirnya crypto boom terjadi lagi di akhir 2020.
Namun, memang benar kata pepatah bahwa sejarah akan terus berulang. Kali ini, nilai BTC ambrol lebih dari 70% dari level tertingginya sepanjang masa. Bahkan, altcoin pun seperti terlihat tak berdaya menghadapi fase bear market kali ini.
Hanya saja, pertanyaannya, apakah benar pasar kripto saat ini tengah menghadapi musim dingin yang cukup berat? Mengapa pasar kripto terlihat tertekan begitu parah?
Baca Juga: Pluang Insight: Ethereum Siap Upgrade Jaringan! Apa Dampaknya Bagi Harga ETH?
Jika Sobat Cuan merujuk pada pengertian Crypto Winter di atas, maka jawabannya adalah ya. Namun, penyebab cuaca buruk di pasar kripto kali ini mungkin cukup berbeda dibanding peristiwa "musim dingin" sebelumnya.
Tahun ini, lesunya pasar kripto sangat berhubungan erat dengan ketidakpastian ekonomi di masa depan. Pelaku pasar di seluruh dunia diselimuti kecemasan soal ancaman resesi ekonomi lantaran bank sentral Amerika Serikat (AS) The Fed berniat mengerek suku bunga acuannya dengan kencang demi meredam inflasi tinggi, sebuah momok yang dialami AS sejak akhir tahun lalu.
Potensi resesi tersebut tentu bikin investor waswas. Mereka kemudian menghindari pasar aset berisiko, termasuk kripto, dan memilih merangsek masuk pasar aset dengan risiko lebih rendah. Nah, aksi jual besar-besaran itu ujungnya ikut melukai harga aset kripto.
Beberapa analis menilai kondisi tersebut sebagai sebuah anomali. Pasalnya, pergerakan aset kripto selama ini terbilang jarang berkorelasi langsung dengan situasi makroekonomi. Namun, saat ini kondisinya sangat berubah. Pasar kripto dijejali oleh investor institusi yang gerak-geriknya sangat dipengaruhi oleh dinamika makroekonomi.
Selain perkara tersebut, lunturnya kepercayaan pelaku pasar terhadap sistem pasar kripto juga disinyalir menjadi biang kerok "musim dingin" saat ini.
Sebagai contoh, Sobat Cuan mungkin masih ingat (atau merasakan) kepanikan yang terjadi setelah nilai tukar stablecoin UST mendadak oleng dan menyeret nilai LUNA dari Rp700.000 menjadi Rp1 per keping dalam semalam saja. Di samping itu, peretasan dalam jumlah jumbo, seperti Ronin Hack pada Maret lalu, menimbulkan tanda tanya besar mengenai aspek keamanan sistem kripto.
Kejatuhan harga aset kripto yang berlarut-larut pun menimbulkan korban baru, yakni perusahaan yang bergelut di bidang aset kripto. Raksasa exchange kripto dunia Coinbase, misalnya, bulan ini mengumumkan akan memangkas 18% dari total karyawannya karena situasi pasar kripto yang acak-acakan. Selain itu, firma model ventura kripto top Three Arrows Capital (3AC) juga dikabarkan terpaksa melikuidasi asetnya karena tak kuat menahan "cuaca ekstrem" tersebut.
Hasilnya, pasar kripto kembali memasuki fase paling kritis sejak 2018 silam. Nilai kapitalisasi pasar kripto pun pasrah terpangkas US$1 triliun hanya dalam waktu enam bulan saja.
Baca juga: Pluang Insight: Mengupas 'The Great Reset', Dulu Konspirasi Viral Kini Fenomena Global
Jika melihat dari sejarah pergerakan Bitcoin dan pasar kripto secara keseluruhan, maka jawaban atas pertanyaan tersebut kemungkinan adalah ya.
Sobat Cuan tak bisa menafikkan fakta bahwa harga BTC pernah anjlok hingga lebih dari 80%. Nah, karena saat ini harga BTC "baru" anjlok sebesar 74% dari level tertingginya sepanjang masa, maka bukan tidak mungkin harga sang raja aset kripto bakal tenggelam lebih dalam lagi hingga 80%. Sehingga, Sobat Cuan harus memasang kewaspadaan yang tinggi menghadapi potensi tersebut!
Hanya saja, meski pelaku pasar sejagat panik mengantisipasi kejatuhan yang lebih dalam lagi, tokoh penting di industri kripto tetap menyangkal prediksi tersebut.
Mereka justru beranggapan bahwa saat ini adalah fase yang baik bagi pelaku pasar untuk mengakumulasi BTC lantaran bear market kali ini menimbulkan seleksi alam tersendiri. Dengan kata lain, para spekulan atau penipu akan perlahan keluar dari pasar kripto dan hanya menyisakan pelaku pasar yang "berkualitas" di tengah situasi pasar yang gonjang-ganjing.
Menariknya, layaknya iklim beneran, Crypto Winter hadir setiap empat tahun sekali. Sehingga, meski Sobat Cuan berhasil melalui "musim dingin" kali ini, kamu masih punya kemungkinan untuk menghadapi "cuaca buruk" lainnya di masa depan.
Sobat Cuan mungkin berpikir bahwa kamu butuh ilmu mumpuni agar bisa selamat dari Crypto Winter. Padahal, memitigasi dampak buruk dari peristiwa itu sangat sederhana. Berikut adalah kunci utamanya!
Jika kamu optimistis akan proyek kripto dan adopsi aset kripto di masa depan, maka hal pertama yang harus kamu lakukan adalah memasang mental yang tangguh. Percayalah bahwa "musim dingin" akan berubah menjadi "musim semi", sehingga jangan pernah gampang terpengaruh oleh sikap pelaku pasar lainnya. Apalagi, data historis menunjukkan bahwa harga aset kripto selalu bisa bangkit kembali setelah dihantam badai dari sana-sini.
Sobat Cuan pasti paham bahwa aset kripto sangat berisiko karena volatilitasnya yang kencang. Makanya, kamu harus menetapkan batas risikomu. Dalam artian, kamu harus mengetahui sejak awal berapa nilai uang yang bakal ikhlas kamu relakan jika kamu boncos ber-trading aset kripto.
Bahkan, kamu bisa melancarkan aksi ini melalui stop-loss. Kalau Sobat Cuan masih bingung dalam menentukan titik stop-loss yang optimal, kamu bisa baca artikel berikut, ya!
Meski kamu sudah jadi investor ahli sekali pun, tetap jangan lupakan konsep diversifikasi aset. Sebab, langkah ini bisa menahan kejatuhan nilai portofoliomu jika harga aset kripto terjun sangat dalam.
Selain itu, Pluang beranggapan bahwa strategi Dollar Cost Averaging bakal sangat membantumu dalam menghadapi bear market. Pluang juga sudah menyediakan strategi Dollar Cost Averaging jitu ketika pasar kripto lesu di artikel berikut.
Nah, menimbang berbagai langkah tersebut, maka kamu seharusnya tak punya alasan untuk keder dengan Crypto Winter.
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 dan Nasdaq index futures, Saham AS CFD, serta lebih dari 90 aset kripto dan belasan produk reksa dana mulai dari Rp5.000 dan hanya tiga kali klik saja!
Dengan Pluang, kamu bisa melakukan diversifikasi aset dengan mudah dan aman karena seluruh aset di Pluang sudah terlisensi dan teregulasi. Ayo, download dan investasi di aplikasi Pluang sekarang!
Bagikan artikel ini